Ketika Fans Ikut Pusing Membahas Rating (Memangnya Mengerti?)

Panditio Rayendra | 11 Maret 2016 | 19:40 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - TREN tayangan TV harian di Indonesia satu dekade terakhir, menambah tekanan bagi pelaku industrinya.

Dari segi produksi, pekerjanya memiliki waktu yang lebih terbatas dibanding saat acara TV masih tayang mingguan. 'Rapor' yang diterima pun harian. Rapor yang saya maksud adalah data kepemirsaan Nielsen, atau rating acara TV. Program yang tayang hari ini, ratingnya keluar besok.

"Dulu penulis (skenario sinetron) tegangnya setiap Rabu. Soalnya rating mingguan rilis di hari Rabu. Tapi sejak sistem stripping, rating keluar tiap hari (kecuali Minggu dan hari libur nasional). Harus siap meeting dadakan (dengan produser atau bagian program stasiun TV) kalau rating tiba-tiba jeblok," kata seorang teman yang sejak aktif menulis skenario sinetron sejak awal 2000-an.

Kenapa rating menjadi penentu usia acara TV? Data kepemirsaan Nielsen menunjukkan jumlah penonton. Data ini jadi pedoman bagi biro iklan, hendak memasang iklan di acara apa. Harga beriklan di TV tidak murah, pengiklan tak akan mau memasang iklan di acara yang jumlah penontonnya sedikit. Seorang kawan yang bekerja di biro iklan bercerita, rate iklan perslot (15 detik) untuk sinetron Anak Jalanan konon menyentuh angka 80 juta Rupiah.

Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, India dan Korea Selatan, rating acara TV dipublikasikan. Lembaga yang melakukan survey tak selalu Nielsen. Di Korea Selatan, selain Nielsen ada lembaga TNMS yang ratingnya juga dijadikan patokan oleh stasiun TV setempat.

Di Indonesia, rating acara TV sifatnya confidential. Stasiun TV berlangganan rating Nielsen, kemudian mendistribusikan kepada rumah produksi yang programnya sedang tayang, kemudian oleh rumah produksi dibagikan kepada yang berkepentingan, seperti sutradara, penulis skenario dan tim kreatif.

Namun di era internet, sulit membendung informasi. Rating 'bocor' di forum online, blog atau akun media sosial. Meski tak semuanya akurat, dan buntutnya diributkan fans antar-program TV.

Ironis, data kepemirsaan TV yang menunjukkan jumlah penonton TV, malah diributkan oleh fans atau penonton TV itu sendiri. Media sosial yang menjangkau berbagai kalangan, memudahkan fans untuk berinteraksi dengan artis, penulis skenario, sutradara atau tim produksi lainnya.

Ketika tahu rating program TV favorit mereka (lebih tepatnya program yang menampilkan artis idola mereka) jeblok, banyak fans memberikan saran pada tim produksi melalui media sosial. "Mbak, banyakin adegan si X biar ratingnya naik," atau "mas, si A dipasangin sama si B aja lebih serasi. Kalo sama si C ratingnya turun tuh".

Lebih ironis lagi, saat fans menganggap bahwa trending topic di Twitter berpengaruh pada rating. Sering saya melihat netizen menulis,"Yuk jadikan sinetron ini trending topic biar enggak di-cut.” Lah, kalau trending topic menentukan nasib sinetron, mana mungkin Tukang Bubur Naik Haji bertahan sampai 1900 episode, and still counting?

Menurut rilis Nielsen tertanggal 18 November 2015, Nielsen TAM (Television Audience Measurement) di Indonesia melakukan pengukuran kepemirsaan atas semua televisi nasional terhadap lebih dari 2,200 penonton berusia 5 tahun keatas di 11 kota di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar dan Banjarmasin). Hasil pengukuran tersebut adalah rating, share dan indeks.

Dari sini diketahui bahwa data acara TV yang dirilis Nielsen tidak mewakili selera seluruh penduduk Indonesia, tapi 11 kota besar. Itu pun bukan hasil survey seluruh penduduk atau pemilik TV di kota-kota tersebut. Sample yang jumlahnya ribuan, dirasa mewakili puluhan juta penduduk 11 kota.

Nielsen mendata respondennya dengan detail. Stasiun TV bisa mengetahui siapa penontonnya programnya. Mulai dari jenis kelamin, profesi, usia, sampai pengeluaran bulanan. Ada alat khusus dipasang di pesawat TV responden, yang mencatat aktivitas sang pemilik TV.


Lalu apa itu TV rating (biasa disingkat TVR), TV share (beberapa TV menyebutnya TVS)?

TVR adalah jumlah penonton sebuah acara TV dibagi dengan jumlah keseluruhan penduduk. Sementara TVS, adalah jumlah penonton sebuah acara TV dibagi dengan jumlah orang yang menyalakan TV pada jam tersebut.

Ambil contoh, data kepemirsaan tanggal 2 Maret 2016, Anak Jalanan meraih TVR 7,5 dan TVS 31,8. Apa maksudnya?
Tertulis total Individu 52.864.077, yang diwakili sampel 8.076. Pada kolom variable, tertulis Anak Jalanan meraih 3.940,000 penonton. Angka 3.940.000 dibagi 52.864.077 adalah 0,075 (pembulatan), dikalikan 100% maka muncullah TVR, 7,5%. Sementara TVS tertulis 31.8%. Ini berarti, sebanyak 31,8% dari semua orang yang menyalakan TV pada jam tayang itu menyaksikan RCTI atau Anak Jalanan, sementara sisanya ‘terpecah’ menyaksikan acara di 14 stasiun TV lainnya.

Pada akhirnya, meski tak mewakili selera seluruh penonton TV di Indonesia, data ini yang menjadi pegangan pengelola TV dalam menentukan nasib program-programnya. Trending topic mungkin menunjukkan program TV terkenal di media sosial. Tapi perlu diingat, tak semua penonton TV melek media sosial. Dan sebaliknya, belum tentu mereka yang aktif membuat trending menonton lewat pesawat TV. Kalau Anda menontonnya secara streaming atau lewat HP, tidak dihitung oleh Nielsen-itu pun kalau Anda menjadi sampel Nielsen. Apalagi sekarang banyak penyedia jasa yang bisa menjadikan kata-kata trending topic.

Jadi jika rating program favorit jeblok, tak banyak yang bisa Anda lakukan. Tonton saja selagi tayang di TV. Karena membuat judul acara trending topic, apalagi memarahi penulis skenario dan sutradara di media sosial, tak akan membuat rating naik.

(ray/ray)

Penulis : Panditio Rayendra
Editor: Panditio Rayendra
Berita Terkait