[RESENSI FILM] KARTINI: Kartini yang Memberdayakan. Kartini yang Tak Berdaya.

Wayan Diananto | 29 April 2017 | 17:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Kartini (Dian Sastrowardoyo) akan dinikahi Djoyoadiningrat (Dwi Sasono). Jelang pernikahan, ia dikurung dalam kamar tanpa cahaya.

Gugatan Kartini kepada ibu tirinya, Moeryam (Djenar Maesa Ayu) dengan mengatakan, “Apa yang bisa saya syukuri dari seorang laki-laki yang sudah memiliki tiga istri,” tidak mempan.

Di kamar itu, Kartini yang selama ini memberdayakan perempuan jelata di Jepara dibuat tak berdaya. Ia akan menyusul saudarinya, Kardinah (Ayushita) ke pelaminan.

Fakta ini membuat Roekmini (Acha Septriasa) merana. Selama ini, Roekmini, Kartini, dan Kardinah dijuluki daun semanggi oleh Belanda.

Ketiganya menyatu, menjadi kekuatan yang tak terpatahkan. Sejak Kardinah menikah, Roekmini merasa tiga kelopak daun semanggi itu sengaja dibuat pincang. Kartini kini berada di persimpangan. Ia dihadapkan pada dua pilihan.

Pertama, bersikeras menunggu jawaban Belanda terkait proposal beasiswa pendidikan yang diajukannya. Kedua, menuruti titah orang tua menikah di usia muda.

Di tengah kegamangan, pintu jendela kamar Kartini dicongkel ibu kandungnya, Ngasirah (Christine Hakim). Ia mengajak Kartini ke sebuah danau dan memberi nasihat yang menjadi titik balik Kartini.

“Dan kata apa yang tidak ada dalam aksara Londo? Bakti,” ucap Ngasirah. Kartini menangis tersedu-sedu.

Anda yang hanya mengenal Kartini sebagai ikon emansipasi dan pendiri sekolah bagi kaum perempuan, bersiaplah melihat sisi lain Kartini.

Sebelum menjadi Raden Ajeng, Kartini tak sendiri dalam berjuang. Ia memiliki dua saudari yang sama “gilanya” dalam memperjuangkan perempuan. Ketiganya dilakonkan dengan sangat meyakinkan oleh Dian, Acha, dan Ayushita.

Kita melihat Kartini, Kardinah, dan Roekmini dimanusiakan. Dan dalam hidup, tiap manusia menemukan momentumnya. Kartini menemukan momentum di dekat danau. Roekmini menemukan momentum saat berlari di tengah prosesi pernikahan Kardinah.

Momen ia berlari ke balik tembok lalu menangis membuat hati kami seperti diiris-iris. Acha memainkan adegan itu dengan level emosi yang belum pernah kami lihat di film-film sebelumnya. Sementara Kardinah mendapat momen ketika menyerah pada permintaan ayah.

Di tangan Hanung, setiap karakter menemukan momentum. Bahkan, karakter Sosroningrat (Deddy Soetomo), Ngasirah, dan Moeryam mempunyai kisah sampingan yang tak kalah menyentuh. Kartini, bentuk kembalinya Hanung sebagai sutradara peraih dua Piala Citra. 

Melalui film ini, kita sadar bahwa ada dua elemen mendasar yang tidak pernah absen dalam karya-karya Hanung: emosi dan rasa. Saat menonton, kita dibuat bangga oleh Kartini.

Namun pada saat yang sama kita menangisi Kartini. Akhir film ini membuat air mata berlinang. Setelah adegan penutup, ada beberapa larik tulisan yang membuat dada kita makin sesak.

Kartini terasa unggul dari aspek penyutradaraan, pemilihan pemain, naskah, penyuntingan, sinematografi, kostum, dan tata artistik. Kartini, membuat batin kami “orgasme” berkali-kali. Tanpa ragu, Kartini  salah satu film terbaik tahun ini. 

Pemain  : Dian Sastrowardoyo, Deddy Soetomo, Christine Hakim, Acha Septriasa, Ayushita
Produser : Robert Roney
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis   : Bagus Bramanti, Hanung Bramantyo
Produksi : Legacy Pictures, Screenplay Films
Durasi     : 1 jam 59 menit

 

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait