25 Tahun Musik Indonesia, Dari Era Kaset ke Layanan "Streaming"

Binsar Hutapea | 12 Maret 2016 | 09:30 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Dalam 25 tahun terakhir, banyak hal terjadi dalam dunia musik Indonesia. Yang paling kentara, peralihan cara mengonsumsi musik. Dulu mendengarkan musik lewat kaset dan kepingan CD, kini cukup mendengarkan secara streaming atau membeli lagu dalam format digital. Bagaimana proses perubahan ini terjadi?    

Era ‘90-an dianggap sebagai masa keemasan industri musik lokal. Banyak penyanyi atau band yang disambut penuh antusiasme, sebut saja Slank, Dewa 19, Jamrud, Sheila on 7, sampai Padi. Kehadiran mereka mengatrol angka penjualan album, baik berupa kaset atau pun cakram padat. Puncaknya terjadi pada 1996. Saat itu, berdasarkan data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), jumlah penjualan album mencapai 77,55 juta keping.                     

Sayang, setelah itu tren angka penjualan fisik terus menurun. Sebelas tahun kemudian, tepatnya 2007, angka penjualan fisik hanya mencapai angka 19,39 juta, hanya seperempat dari angka penjualan pada 1996. Kurun 2011-2013, angka penjualan album fisik makin memprihatinkan. Angka penjualannya di kisaran 5 juta saja. Kini, jumlahnya makin mengerucut.        

Bila ditelisik, ada beberapa alasan mundurnya angka penjualan album fisik.  Salah satunya, angka pembajakan yang menggila. Pada 1996 ASIRI mencatat 20 juta keping album bajakan beredar, dua belas tahun kemudian atau pada 2008, jumlahnya membengkak fantastis hingga 550 juta keping!

Rasio peredaran album musik bajakan dan legal pada 2007 bahkan telah mencapai 96 berbanding 4 persen. Dengan kata lain, dari 100 barang rekaman yang beredar hanya 4 yang asli, sisanya adalah produk bajakan.                                 

Pembajakan kian marak seiring perkembangan teknologi internet. Ditemukannya format musik MP3 serta teknologi peer to peer--teknologi yang memungkinkan pengguna internet untuk bertukar fail—membuat peredaran barang rekaman ilegal kian tak terbendung. Tinggal unduh, dus, seluruh katalog album dari  pemusik favorit bisa dinikmati secara cuma-cuma.             

Survei ASIRI pada 2013 menyebutkan, terjadi sekitar enam juta kali pengunduhan ilegal lagu setiap hari melalui internet. Hal ini mengakibatkan industri rekaman menanggung kerugian hingga 6 miliar rupiah per hari. Ini berarti industri musik Tanah Air kehilangan potensi pendapatan sebesar 180 miliar per bulan atau 2,16 triliun rupiah per tahun. Jumlah yang tak sedikit.

Angka pengunduhan ilegal yang tinggi ini sekaligus membuktikan, perilaku masyarakat sudah mulai bergeser dalam urusan mengonsumsi musik. Ketimbang membeli album fisik, mereka memilih mengunduhnya dari internet. 

Bisnis Musik Daring Kian Besar                                    

Angka penjualan album fisik merosot, muncul layanan toko musik digital. Pada  2003, perusahaan komputer Apple McIntosh menggagas toko musik daring  iTunes. Fail yang diunduh  tak hanya bisa dimainkan di PC, tapi juga bisa di pemutar musik portable keluaran Apple, iPod, dan juga ponsel iPhone.    

                                     

Apple sebenarnya bukan toko musik digital pertama. Napster 2.0 lebih dulu beroperasi. Toko musik ini versi terbaru Napster, situs berbagi musik gratis. Karena dianggap ilegal dan dikecam perusahaan rekaman serta artis musik, Napster berganti nama menjadi Napster 2.0.

 Untuk mendapatkan musik di situs itu, si pengunduh lagu harus membayar. Hasil pembayaran ini digunakan untuk membayar ganti rugi kepada pencipta lagu dan pemilik hak cipta lagu yang  dirugikan Napster.

Meski membayar, lagu-lagu itu tidak bisa disimpan di media lain kerena sudah diproteksi. Ketika masa berlangganannya habis, tidak bisa dinikmati lagi. Ini berbeda dengan layanan Apple yang membebaskan penggunanya menggunakan fail yang diunduh untuk jangka waktu tak terbatas. Napster 2.0 saat ini telah berganti nama menjadi Rhapsody.             

Menyusul kedua situs itu, bermunculan toko musik daring lainnya. Kehadiran music digital store tak kalah marak. Setelah Importmusic—didirikan Abdee “Slank”, Anang Hermansyah, dan Triawan Munaf—hadir pula toko musik digital LangitMusik  yang dicetuskan Telkomsel.

Lalu hadir toko musik digital Musikkamu, Musiklegal, dan juga Melonmusik. Toko musik ini biasanya bekerja sama dengan perusahaan rekaman lokal. Selain toko musik lokal, banyak perusahaan rekaman yang juga menjual album lewat toko musik digital internasional macam iTunes. Kehadiran mereka tak dipungkiri membuat orang semakin malas mendatangi toko musik. Lebih praktis mengunduh dari toko musik digital.

Buat perusahaan rekaman, termasuk di Indonesia, menjual musik via toko digital menjadi alternatif untuk mendapatkan pemasukan di tengah penjualan fisik yang kian lesu. Diyakini bisnis musik daring ini bakal terus bertumbuh. Data Federasi Intrnasional Industri Rekaman yang berbasis di London, Inggris, menyebut keuntungan yang diraih toko musik digital sudah menyamai angka keuntungan penjualan rekaman fisik.

Dari total pendapatan musik pada 2014, 46 persennya disumbangkan dari penjualan musik digital, sementara 46 persen merupakan hasil keuntungan dari penjualan format fisik.  Sisanya, 8 persen, merupakan keuntungan dari sinkronisasi—penggunaan musik untuk  iklan, film, game, atau program televisi.

Penggunaan album kian ditinggalkan karena perkembangan teknologi internet dan gawai yang kian melesat cepat. Selain toko musik digital, berkembang pula layanan musik streaming.

Dengan mengeluarkan jumlah dana tertentu, seseorang bisa menikmati seluruh katalog musik yang disediakan jasa layanan streaming musik seperti Google Play Music, Spotify, Pandora, atau Amazon Prime Music. ITunes sendiri juga sudah memulai menyediakan jasa ini. Layanan streaming ini bisa menggunakan berbagai macam peranti, mulai dari komputer, laptop, sampai ponsel.  Kalau segan membayar, tersedia layanan straeming YouTube. Lagu dari artis mana pun, bisa ditemukan di situs berbagi video itu.       

Hasil riset Global Web Index, lembaga yang mempelajari perilaku konsumen digital, menyatakan bahwa jumlah orang yang mendengarkan musik lewat internet meningkat hingga 76 persen selama periode 2012-2015. Mayoritas orang yang memanfaatkan teknologi itu adalah mereka yang berusia 16 hingga 24 tahun.  

 

(bin/gur)

                                                      

 

Penulis : Binsar Hutapea
Editor: Binsar Hutapea
Berita Terkait