Pengalaman Muhammad Yusuf Mengarahkan Prisia Nasution di Australia dalam Suhu Minus

Wayan Diananto | 8 Mei 2017 | 14:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Muhammad Yusuf kini lebih dikenal sebagai sineas spesialis film horor. Debutnya di genre memedi dimulai ketika mengarahkan Aldi Taher dalam Kemasukan Setan (2013).

Meski gagal mencetak box office, Kemasukan Setan mendapat kritik positif. Tabloid Bintang memasukkannya ke daftar film horor Indonesia terbaik di era millennium.

Sukses Kemasukan Setan membuatnya makin percaya diri memproduksi film horor. Dua film berikutnya, Angker (2014) dan Misterius (2015).

Pengujung April lalu, Muhammad Yusuf melepas film horor anyar The Curse. Berbeda dari film-film sebelumnya, kali ini Muhammad Yusuf memboyong kru dan pemain ke Australia. Ia merekrut tiga aktris ternama yakni Prisia Nasution, Shareefa Daanish, dan Lia Waode. Dalam sesi wawancara empat mata dengan tabloidbintang.com, Muhammad Yusuf berbagi cerita dari lokasi syuting The Curse. Berikut penuturannya. 

Bagaimana Anda membangun karakter utama dalam The Curse yang menggerakkan cerita film ini?
Kali pertama membuat konsep The Curse inginnya pemeran utama laki-laki. Setelah digodok bersama produser maupun produser eksekutif, keluarlah ide untuk menempatkan perempuan sebagai pemeran utama. Cewek kalau ketemu setan, lebih dramatis dan mengerikan. Kalau cowok kesannya kuat dan tidak gentar berhadapan dengan lelembut. Setelah itu kami melakukan kasting ulang. Tujuannya mencari perempuan yang tampak cerdas, tinggi secara fisik, dengan postur proporsional sehingga mampu mempresentasikan perempuan tangguh. Ada beberapa kandidat. Terakhir, tersisa tiga nama kondang Luna Maya, Raline Shah, dan Prisia Nasution.

Mengapa harus syuting di Australia?

Ini kali pertama saya syuting di Australia. Berawal ketika saya mengantar film Angker ke Festival Film Indonesia di Australia. Saya kepikiran syuting di benua ini. Saya punya kakak yang tinggal di Australia. Dia punya rumah di daerah Geelong. Saya bilang, saya mau syuting di sini. Kemudian saya jalan-jalan ke penambangan emas di Clunes. Sesampainya di sana saya merasakan suasana mencekam. Di sana pula muncul ide memproduksi film horor. Prosesnya panjang. Bukannya bertemu produser, mengobrol, lalu jadilah film. 

Nah, saat berada di Festival Film Indonesia di Australia itulah saya bertemu Resika Tikoalu (produser) dan Konfir Kabo (produser eksekutif). Saya mempresentasikan sinopsis tentang seorang pengacara yang berhadapan dengan dua masalah sulit. Pertama, kasus pembunuhan. Kedua, rumah tangga yang di ujung tanduk setelah lima tahun menikah. Kejadiannya berlatar di Australia. Resika dan Konfir tertarik. Lalu sinopsis itu dikembangkan menjadi naskah. Kami syuting 30 hari di sana.

Apa bagian yang paling merepotkan saat syuting di Australia?

Bagian yang paling merepotkan, malam hari. Kami syuting ketika musim dingin baru berakhir. Sisa-sisa musim dingin masih terasa. Pada malam hari, suhu mencapai minus 1 derajat celsius dengan angin kencang. Pada jam 24, syuting di luar ruangan harus selesai. 

Apa adegan paling sulit selama syuting?

Adegan di pekarangan winery. Ada lapangan dengan sebuah pohon besar, yang rantingnya banyak. Di sana, kami hanya bisa syuting pada magic hour yakni sore menjelang malam. Karena waktunya sempit, kami mengeksekusi adegan itu selama tiga hari. Cuacanya dingin ditambah angin dan hujan. Shaarefa Daanish sujud di atas tanah yang becek.

Anda sudah beberapa kali memproduksi film horor seperti Kemasukan Setan, Angker, dan Misterius. Masihkah genre horor menantang bagi Anda?

Oh, tetap menantang. Setiap kali memproduksi film horor, ceritanya tidak pernah sama dan selalu keluar setan baru. Pengadegannya, yakni cara keluar setannya pun baru tidak mengimitasi dari film-film horor populer yang pernah ada. Tidak pernah sama, di situlah tantangannya. Apalagi di film ini kami mengawinkan aura mistis dari tiga budaya yakni Thailand, Indonesia, dan Australia. Kisahnya multikultural. Perkara hantunya seperti apa silakan Anda menonton sendiri. Ha ha ha.

Ini kali ketiga Anda merekrut Lia Waode. Kenapa Lia lagi?

Dia tetangga saya di Bali. Ha ha ha! Rumah kami berdekatan. Biasalah kalau sutradara sudah nyaman dan klik dengan salah satu pemain, tentu ada kolaborasi lanjutan. Itu pertimbangan dari kacamata relationship. Kalau pertimbangan profesionalnya begini, saya butuh pemain yang mampu mencairkan suasana mengingat aura drama dalam The Curse sudah pekat. Lia pilihan yang tepat.

The Curse dirilis pada bulan April, bertepatan dengan perilisan sejumlah film blockbuster Hollywood. Apakah ini tidak terlalu berisiko?
Soal bersaing dengan film blockbuster, saya pikir film-film musim panas Hollywood seperti Fast & Furious 8, Guardians of the Galaxy Vol. 2, dan Alien Covenant (yang pekan depan tayang) memang tidak bisa dihindari. Munculnya film-film musim panas merupakan bagian dari aliran sungai bisnis jaringan bioskop. Setiap tahun selalu ada. Mau bagaimana lagi? Saya tidak memandang film-film musim panas sebagai kendala. Karenanya, The Curse tetap optimistik tayang pada akhir April 2017.

Tahun ini, film horor menggeliat setelah Danur mencapai 2,7 juta penonton lebih. Apa tanggapan Anda? Apakah kesuksesan ini bisa membuka jalan bagi film horor lokal lain termasuk The Curse?

Danur dengan 2,7 juta penonton itu luar biasa. Saya melihat pasar yang begitu potensial dari ranah horor. Diperkuat dengan strategi pemasaran yang jitu, dekat dengan realitas masyarakat Indonesia, terkuaklah fakta bahwa jumlah penonton film horor di Indonesia sesungguhnya besar. Danur memotivasi para pelaku industri film khususnya horor bahwa mereka harus punya strategi promosi yang rapi jauh sebelum film itu dirilis. Selama ini, informasi tentang film horor kurang luas. Para produser harus memikirkannya dengan seksama. Di sisi lain, media mesti memberi dukungan agar para pekerja seni tidak mengambil risiko terlalu tinggi dalam memproduksi film horor.

Apa adegan favorit Anda dalam The Curse?

Ketika Sheline (Prisia) terjaga tengah malam di rumah sendirian. Ia merasa ada seseorang di kamar. Buat saya itu adegan terbaik dan sangat mengerikan. Saya pikir penonton akan merasakan tensi yang mencekam pada adegan itu. 

Ini kali pertama Anda bekerja sama dengan Prisia Nasution. Bagaimana kesannya?

Saya butuh waktu untuk beradaptasi dengan pola pikir dan gaya kerja Prisia di lokasi syuting. Saya keras kepala. Prisia juga keras kepala. Namun setelah kami pindah kota untuk syuting di winery, muncullah chemistry yang selama ini saya cari. Itu terjadi pada hari keempat. Kami ngopi pagi, mengobrol soal karakter, dan pengambilan gambar. Berikutnya, suasana syuting menjadi lebih menyenangkan. J wyn 

 

(wyn/gur)

 

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait